Manfaat dan Mudarat Pilkada Langsung di Mata Mereka Penentu Kebijakan
Ilustrasi foto (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Dalam Negeri atau Mendagri Tito Karnavian menyatakan ingin mengkaji pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Menurutnya, sistem politik pilkada langsung yang sudah berjalan selama 20 tahun belakangan ini perlu dievaluasi.

Tito menilai, sistem Pilkada langsung memang bermanfaat bagi partisipasi demokrasi, tetapi juga memiliki sisi negatif.

Menanggapi hal ini, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengatakan, pihaknya dalam posisi akan ikut dalam pembahasan bersama seluruh otoritas. Ia yakin hal ini akan mengundang pro dan kontra.

"Perlu hati-hati membuat pernyataan. Perlu data dan fakta yang kuat. Kita terbuka untuk membahasnya. Namun semua sisi harus dilihat," ucapnya, ketika dihubungi VOI, Jumat (8/11/2019).

Namun, Mardani mengamini ada beberapa yang memang harus diperbaiki dalam sistem pilkada langsung. Hal ini berkaitan dengan masa kampanye yang dirasa terlalu lama.

"Biaya masih tinggi, money politic masih ada. Tapi hasilnya legitimasi kuat karena dipilih langsung dan bertanggung jawab langsung pada masyarakat. Perbaiki sistemnya, hasilnya akan bagus," jelasnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani setuju dengan usulan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk mengevaluasi gelaran Pilkada langsung. Menurut dia, gelaran pilkada langsung lebih banyak mudaratnya, seperti maraknya politik uang.

"Sebetulnya dari sisi DPR kan sudah lama lihat pilkada langsung. Ini banyak mudaratnya," kata Arsul di Kompleks MPR/DPR, Jakarta, Kamis (7/11).

Namun, Arsul juga tak memungkiri jika pilkada langsung itu turut memberikan manfaat. Salah satunya, hak rakyat untuk memilih secara langsung para calon kepala daerahnya masing-masing terjamin.

Atas dasar itu, Arsul menyarankan agar DPR segera melakukan penelitian secara empiris dan akademik terkait penyelenggaraan Pilkada langsung yang sudah diselenggarakan sejak 2005. Penelitian itu bisa menjadi dasar untuk mengidentifikasi manfaat atau mudarat yang ditimbulkan dari gelaran tersebut.

Arsul tak menampik politik berbiaya tinggi menjadi patologi yang kerap muncul dalam gelaran Pilkada secara langsung.

"Kalaupun ada istilahnya 'hengki pengki' politik daripada dengan katakanlah membiayai Pilkada yang harus mencakup sekian luas wilayah dan masyarakat, itu saya yakin pilkada nggak langsung jauh lebih rendah," jelasnya.

Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily mengatakan, partainya tetap konsisten menginginkan pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan secara langsung atau dipilih langsung oleh rakyat.

"Ya kita sejauh ini masih konsisten bahwa pilkada lebih baik dilaksanakan secara langsung," kata Ace.

Ace mengatakan, pihaknya tak mempermasalahkan penyelenggaraan pilkada dievaluasi guna mencari pemimpin daerah terbaik. Namun, menurut dia, pilkada secara langsung masih tetap berdampak positif, karena langsung menampung suara rakyat.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri atau Mendagri Tito Karnavian menyatakan ingin mengkaji pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Hal ini berangkat dari maraknya politik uang.

"Kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya Rp30 miliar mau jadi bupati mana berani dia," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11).

Sebagai mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, kata Tito, dia merasa tak kaget dengan banyaknya operasi tangkap tangan (OTT) kepala daerah terduga korupsi yang selama ini marak terjadi. Hal ini karena mahalnya biaya politik yang dibutuhkan oleh seorang calon bupati.

"Kalau bagi saya sebagai mantan Kapolri, ada OTT-OTT, penangkapan-penangkapan kepala daerah buat saya it's not a surprise for me," kata Tito.

"Apa benar 'saya ingin mengabdi kepada nusa dan bangsa', terus rugi? Bullshit. Saya ndak percaya," lanjutnya.